Belajar Matematika

PTK, EKSPERIMEN, DLL

hasmanweb.blogspot.com

Tuesday, March 3, 2009

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE INTEGRATED READING AND COMPOSITION UNTUK

A. Judul :PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE INTEGRATED READING AND COMPOSITION UNTUK
MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA SMA PADA MATERI LISTRIK DINAMIS

B. Bidang : Kependidikan
C. Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan merupakan usaha untuk menumbuhkembangkan

potensi sumber daya manusia melalui kegiatan pembelajaran. Pendidikan yang dilaksanakan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan di Indonesia khususnya Sulawesi Tenggara dihadapkan pada banyak masalah, salah satu diantaranya adalah rendahnya kualitas lulusan pendidikan formal. Salah satu faktor yang dapat diduga penyebab rendahnya mutu pendidikan di Sulawesi tenggara model pembelajaran yang diterapkan guru kurang sesuai dengan karakteristik pembelajaran fisika.
Fisika merupakan salah satu mata pelajaran yang sulit dipahami oleh siswa yang ditandai dengan prestasi belajar siswa yang belum memberikan hasil yang memuaskan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa model pengajaran fisika yang diterapkan sejak awal hingga sekarang masih bersifat konvensional, dimana sistem penyampaiannya lebih banyak didominasi oleh guru yang gaya mengajarnya cenderung bersifat instruktif, serta proses komunikasinya satu arah. Guru memegang peran aktif dalam proses pembelajaran sedangkan siswa cenderung diam dan secara pasif menerima materi pelajaran, siswa juga kurang berani mengungkapkan gagasannya. Hal ini menyebabkan kreativitas dan kemandirian siswa mengalami hambatan dan bahkan tidak berkembang sehingga tidak sedikit siswa merasa terhambat proses kedewasaannya karena model pembelajaran yang digunakan guru melemahkan semangat belajar siswa.
Guru, pendidik dan innovator pendidikan terus berupaya melakukan perbaikan dan perubahan dalam system pembelajaran khususnya dalam kelas. Reformasi dalam pembelajaran perlu dibangun dan dikembangkan guna menciptakan suasana belajar yang lebih manusiawi,konstruksif, dan demokratis sehingga suasana interaksi kelas baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa itu sendiri dapat tumbuh dan berkembang. Peran guru sebagai instruktur perlu mengalami pergeseran menjadi fasilitator atau pemandu dalam belajar. Penciptaan suasana belajar yang demikian sangat memungkinkan tumbuhnya cara-cara belajar kerja sama sehingga model embelajaran kooperatif sangat perlu dikemangkan guna mencapai tujuan pembelajaran.
Slavin (1986) menelaah penelitian dan melaporkan bahwa 45 penelitian telah dilaksanakan antara tahun 1972 sampai dengan 1986, menyelidiki pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap hasil pembelajaran. Studi ini dilakukan pada semua tingkat kelas dan meliputi bidang studi bahasa, geografi, ilmu sosial, sains, matematika, bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, membaca dan menulis. Dari 45 laporan tersebut, 37 diantaranya menunjukkan bahwa kelas kooperatif menunjukkan hasil belajar akademik yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Delapan studi menunjukkan tidak ada perbedaan dan tidak satupun studi menunjukkan bahwa kooperatif memberikan pengaruh negative (Ibrahim, 2000:16).
Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa penyebab rendahnya prestasi belajar fisika di SMP adalah karena guru menggunakan model mengajar yang tidak sesuai dengan materi pelajaran dan biasanya guru hanya mengejar materi yang diajarkan sehingga siswa sulit untuk memahami/menguasai konsep materi pelajaran. Dalam penelitian ini, model mengajar yang biasa digunakan oleh guru dalam kegiatan sehari-hari disebut model mengajar konvensional.
Seorang guru/pengajar membutuhkan kejelian khusus dalam hal memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Salah satu model pembelejaran yang telah dicoba oleh Steven dan Slavin adalah model pembelajaran Cooperative Integrated Read and Composition (CIRC) yakni model pembelajaran yang dengan cara mengelompokkan dalam 4 kelompok yang heterogen dimana pada masing-masing kelompok diberikan wacana atau kliping sehingga akan terjadi proses diskusi, selanjutnya masing-masing kelompok mempersentasikan hasil diskusinya, dan guru kemudian memberikan kesimpulan.
Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa penyebab rendahnya prestasi belajar fisika di SMA adalah karena guru menggunakan model mengajar yang tidak sesuai dengan materi pelajaran dan biasanya guru hanya mengejar materi yang diajarkan sehingga siswa sulit untuk memahami/menguasai konsep materi pelajaran. Dalam penelitian ini, model mengajar yang biasa digunakan oleh guru dalam kegiatan sehari-hari disebut model mengajar konvensional. Pada observasi awal ditemukan bahwa prestasi belajar mata pelajaran IPA Fisika di SMA Negeri 4 Kendari yakni untuk nilai rata-rata IPA Fisika semester II tahun ajaran 2006/2007 yaitu kelas X1 =4,50; kelas X2 = 5,60 dan kelas X3 = 4,80 (Berdasarkan data dari dokumen/arsip sekolah).
Rendahnya prestasi belajar IPA Fisika di SMA Negeri 4 Kendari merupakan salah satu indikasi perlunya perbaikan model yang kurang tepat yang digunakan oleh guru, sehingga kita perlu mencari suatu alternatif lain atau model pembelajaran lain dalam proses belajar mengajar. Salah satu model pembelajaran yang bisa memfasilitasi yaitu Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC). model pembelajaran CIRC ini diadaptasikan dengan kemampuan peserta didik dalam proses pembelajarannya serta membangun kemampuan siswa untuk membaca dan menyusun rangkuman berdasarkan materi yang dibacanya, sehinngga dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa terhadap materi yang diajarkan, terutama dalam mengajarkan materi listrik dinamis. Model pembelajaran ini juga cocok bagi siswa yang merasa cepat jenuh dalam menerima pelajaran serta siswa yang memiliki daya ingat yang lemah.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan suatu penelitian dengan judul : “ Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa SMA Negeri 4 Kendari pada materi listrik dinamis.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah : “Apakah penggunaan model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition dapat lebih meningkatkan pemahaman konsep siswa SMA kelas X pada materi listrik dinamis ?”
Rumusan masalah di atas dijabarkan menjadi pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tingkat perolehan (gain) hasil belajar siswa dalam hal pemahaman konsep, yang mendapatkan pengajaran listrik dinamis dengan model Cooperative Integrated Reading and Composition ?
2. Apakah penggunaan model Cooperative Integrated Reading and Composition dapat lebih meningkatkan pemahaman konsep siswa pada materi listrik dinamis ?
3. Bagaimanakah tanggapan siswa terhadap penerapan model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition pada materi listrik dinamis?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mendapatkan gambaran tentang tingkat perolehan (gain) hasil belajar siswa dalam hal pemahaman konsep, yang mendapatkan pengajaran listrik dinamis dengan model Cooperative Integrated Reading and Composition.
2. Memperoleh informasi tentang tingkat pemahaman konsep siswa pada materi listrik dinamis setelah pembelajaran dengan model Cooperative Integrated Reading and Composition.
3. Mendapatkan gambaran tentang tanggapan siswa terhadap penerapan model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition.
F. Manfaat Penelitian
Proses dan hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya, terutama :
1. Bagi guru fisika, proses penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam pengembangan suatu model pembelajaran dan uji implementesinya, sedangkan hasil penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan untuk mengadopsi model CIRC dalam pembelajaran fisika di sekolahnya.
2. Bagi peneliti lain, proses dan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian, rujukan, atau pembanding bagi penelitian yang sedang atau yang akan dilakukan.
3. Hasil penelitian ini dapat memperkaya dan melengkapi hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dalam kajian sejenis.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari adanya salah pemaknaan dari setiap istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka secara operasional istilah-istilah tersebut didefinisikan seperti berikut :
1. Model pembelajaran CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition) didefinisikan sebagai salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif yang secara khusus didisain untuk pembelajaran matematika dan sains. Siswa mempelajari materi pelajaran dan mengerjakan tugas secara perorangan dalam kelompok kecil yang heterogen. Para siswa saling memeriksa pekerjaan dengan temannya dan membantu teman lainnya dalam mempelajari materi pelajaran dan mengerjakan tugas. Skor kelompok didasarkan pada jumlah satuan tugas yang dapat diselesaikan dan ketepatan pengerjaannya.
2. Pemahaman konsep didefinisikan sebagai kemampuan siswa dalam memahami konsep fisika dengan sebaik-baiknya, yang dapat ditunjukkan dengan kemampuan konseptual dan keterampilan aplikatif yang baik. Untuk mengukur pemahaman konsep siswa dilakukan dengan menggunakan tes konseptual.
H. Kerangka Teoritik
1. Model Pembelajaran
Tepat atau tidaknya suatu model pembelajaran yang digunakan dalam suatu proses pembelajaran di kelas, biasanya yang mengetahui adalah guru bidang studi itu sendiri. Untuk memilih model pembelajaran yang tepat, maka sangat penting untuk memperhatikan relevansinya dengan tujuan pengajaran yang ingin dicapai, dan kompetensi yang diinginkan. Dalam prakteknya semua model pembelajaran bisa dikatakan baik jika memenuhi prinsip prinsip berikut; Pertama, semakin kecil upaya yang dilakukan guru dan semakin besar partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran; kedua, semakin sedikit waktu yang diperlukan oleh guru untuk mengaktifkan siswa; ketiga, sesuai dengan cara belajar siswa yang dilakukan; keempat, dapat dilaksanakan dengan baik oleh guru; kelima, tidak ada satupun metode yang paling sesuai untuk segala tujuan, jenis materi, dan proses belajar yang ada.
2. Hakekat Pembelajaran IPA
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada hakikatnya berfungsi untuk membangun pola berpikir sehingga dapat merubah pandangan manusia terhadap alam semesta. IPA memperoleh kebenaran secara empirik. Sedangkan kunci pendekatan empirik adalah proses pengamatan (observasi). Secara umum, IPA terdiri dari tiga komponen; pertama, sikap ilmiah yaitu kebenaran, nilai-nilai, gagasan atau pendapat, objek dan sebagainya, misalnya membuat suatu keputusan setelah memperoleh cukup data yang berkaitan dengan problemnya; kedua adalah metode ilmiah, yaitu metode yang biasanya diikuti oleh ilmuwan dalam memecahkan suatu masalah, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) mengidentifikasi dan menyatakan suatu masalah, 2) merumuskan hipotesis, 3) merancang dan melaksanakan eksperimen, 4) melakukan observasi, 5) mengumpulkan dan menganlisis data, 6) mengulang kembali eksperimen untuk membuktikan kebenaran, 7) menarik kesimpulan; dan ketiga adalah produk ilmiah, yaitu antara lain konsep, prinsip dan teori ilmiah (Moh. Amin, 1987).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPA pada hakekatnya dapat dipandang sebagai proses dan produk yang membelajarkan siswa untuk memahami hakekat IPA dan mengajarkan cara-cara untuk memperoleh fakta-fakta, prinsip-prinsip, hukum-hukum, dan teori-teori melalui berbagai cara seperti yang ditempuh oleh para ilmuwan terdahulu dalam memperoleh pengetahuan.

3. Strategi pembelajaran kooperatif
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah belajar secara bersama-sama, saling membantu antara satu dengan yang lainnya dalam belajar, dan memastikan bahwa setiap siswa dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang telah ditentukan sebelumnya. Falsafah yang mendasari model pembelajaran kooperatif adalah falsafah homo homini socius. Falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial, kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup.
Slavin (1995) mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai sekumpulan kecil siswa yang bekerja secara bersama untuk belajar dan bertanggung jawab atas kelompoknya. Gilbert Macmillan (dalam Achyar, 1988) menyatakan bahwa keunggulan–keunggulan pembelajaran kooperatif diantaranya adalah memberi peluang pada siswa agar mau menggunakan dan membahas suatu pandangan, serta siswa memperoleh pengalaman kerjasama dalam merumuskan suatu pendapat kelompok.
Terdapat berbagai jenis atau tipe pembelajaran kooperatif yang telah dikembangkan, antara lain :
a. Tipe STAD (Student Teams-Achievement Divisions)
Dikembangkan oleh Slavin pada tahun 1978. Guru menyajikan pelajaran kepada siswa yang kemudian berkumpul dalam kelompok-kelompok yang masing-masing kelompok beranggota empat sampai lima orang siswa untuk berdiskusi dan saling membantu satu sama lain mengisi lembar kerja tentang materi pelajaran yang disajikan. Setiap siswa memperoleh kuiz dan skor kelompok ditentukan oleh derajat peningkatan skor individu dari skor sebelumnya. Kelompok-kelompok yang mendapat skor tinggi diumumkan dalam suatu berita mingguan.
b. Tipe Teams-Games-Tournaments
Dikembangkan oleh De Vries dan Slavin pada tahun 1978. Setelah pelajaran disajikan oleh guru, siswa berkumpul dalam kelompok-kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari empat sampai lima orang anggota untuk berdiskusi dan saling membantu satu sama lain mempelajari materi pelajaran. Para siswa tidak memperoleh kuiz-kuiz secara individual. Melainkan, mereka berlomba dengan siswa-siswa pada kelompok lain yang memiliki prestasi yang sama agar mendapatkan poin-poin untuk kelompoknya.
c. Tipe Learning together
Dikembangkan oleh Johnson dan Johnson pada tahun 1975. Para siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk menyelesaikan tugas kelompok. Guru memotivasi siswa untuk saling ketergantungan satu sama lain secara positif, saling berinteraksi, memiliki tanggung jawab secara individu dan sosial serta melakukan kerja kelompok. Sebagai contoh, siswa yang mengajukan pertanyaan kepada guru akan dikembalikan kepada kelompoknya untuk menemukan jawabannya. Penskoran didasarkan pada kinerja individual dan kesuksesan kelompoknya, tetapi individu-individu dan kelompok-kelompok tidak bersaing lagi dengan yang lainnya.
d. Tipe Group investigation
Dikembangkan oleh Sharon pada tahun 1976. Para siswa dibagi dalam kelompok-kelompok. Setiap kelompok diberi tugas dan proyek yang khusus dan membuat keputusan penting tentang bagaimana mengolah informasi, mengorganisasikan dan menyajikannya. Pembelajaran tingkat tinggi (seperti mengaplikasikan, mensintesis, dan menyimpulkan) sangat ditekankan dalam tipe ini.
e. Tipe Jigsaw
Dikembangkan oleh Aronson pada tahun 1978. Setiap siswa menjadi anggota kelompok yang terdiri dari empat sampai enam orang siswa. Setiap siswa dalam kelompok diberikan informasi untuk memilih siswa kelompok ahli pada topik yang dipelajari. Siswa ahli dari setiap kelompok membaca materi pelajarannya dan kemudian berkumpul untuk mendiskusikan dan mensintesis informasi. Kemudian mereka kembali ke dalam kelompoknya masing-masing dan mengajarkan apa yang mereka ketahui kepada teman sekelompoknya. Para siswa mendapat kuiz secara individu dan skor kelompok yang diperoleh dipublikasikan dalam berita kelas.

f. Tipe Team-assisted individualized learning
Dikembangkan oleh Slavin pada tahun 1982. Tipe ini secara khusus didisain untuk digunakan dalam pembelajaran matematika. Siswa mempelajari materi pelajaran dan mengerjakan tugas secara perorangan dalam kelompok kecil yang heterogen. Para siswa saling memeriksa pekerjaan dengan temannya dan membantu teman lainnya dalam mempelajari materi pelajaran dan mengerjakan tugas. Skor kelompok didasarkan pada jumlah satuan tugas yang dapat diselesaikan dan ketepatan pengerjaannya.
g. Tipe CIRC (Cooperative integrated reading and composition)
Dikembangkan oleh Stevens, Madden, Slavin and Farnish pada tahun 1987. seperti halnya tipe team-assisted individualized learning, tipe ini didisain untuk mengakomodasi rentang tingkat kemampuan siswa yang lebar dalam suatu kelas dengan menggunakan teknik pengelompokan siswa dalam kelas secara heterogen dan homogen.
4. Pembelajaran kooperatif tipe CIRC
Model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) ini dapat dikategorikan pembelajaran terpadu. Menurut Fogarty (1991), berdasarkan sifat keterpaduannya, pembelajaran terpadu dapat dikelompokkan menjadi: 1) model dalam satu disiplin ilmu yang meliputi model connected (keterhubungan) dan model nested (terangkai); 2) model antar bidang studi yang meliputi model sequenced (urutan), model shared (perpaduan), model webbed (jaring laba-laba), model theaded (bergalur) dan model integreted (terpadu); 3) model dalam lintas siswa. Kelebihan dari model pembelajaran terpadu atau (CIRC) antara lain: 1) Pengalaman dan kegiatan belajar anak didik akan selalu relevan dengan tingkat perkembangan anak; 2) kegiatan yang dipilih sesuai dengan dan bertolak dari minat siswa dan kebutuhan anak; 3) seluruh kegiatan belajar lebih bermakna bagi anak didik sehingga hasil belajar anak didik akan dapat bertahan lebih lama; 4) pembelajaran terpadu dapat menumbuh-kembangkan keterampilan berpikir anak; 5) pembelajaran terpadu menyajikan kegiatan yang bersifat pragmatis (bermanfaat) sesuai dengan permasalahan yang sering ditemuai dalam lingkungan anak; 6) pembelajaran terpadu dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa kearah belajar yang dinamis, optimal dan tepat guna; 7) menumbuhkembangkan interaksi sosial anak seperti kerjasama, toleransi, komunikasi dan respek terhadap gagasan orang lain; 8) membangkitkan motivasi belajar, memperluas wawasan dan aspirasi guru dalam mengajar (Saifulloh, 2003). Pembelajaran secara berkelompok merupakan proses yang kaya akan interaksi Face to-Face, Eye to Eye atau Knee to Knee, pertukaran informasi, umpan balik, kepercayaan, saling menerima pendapat, penghargaan kelompok, mengerjakan tugas kelompok baik dirumah maupun di kelas secara spesifik (Steven dan Slavin, dalam Anggela,1999).
Dalam pembelajaran CIRC atau pembelajaran terpadu setiap siswa bertanggung jawab terhadap tugas kelompok. Setiap anggota kelompok saling mengeluarkan ide-ide untuk memahami suatu konsep dan menyelesaikan tugas (task), sehingga terbentuk pemahaman yang dan pengalaman belajar yang lama. Model pembelajaran ini terus mengalami perkembangan mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga sekolah menengah. Proses pembelajaran ini mendidik siswa berinteraksi sosial dengan lingkungan. Prinsip belajar terpadu ini sejalan dengan empat pilar pendidikan yang digariskan UNESCO dalam kegiatan pembelajaran. Empat pilar itu adalah ”belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk berbuat (learning to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar hidup dalam kebersamaan (Learning to live together), (Depdiknas, 2002).
Model pembelajaran CIRC atau pemebelajaran terpadu menurut pertama kali dikembangkan oleh (Steven and Slavin, 1981), dengan langkah-langkah;
1. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang yang secara heterogen.
2. Guru memberikan wacana sesuai dengan topik pembelajaran.
3. Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberikan tanggapan terhadap wacana dan ditulis pada lembar kertas.
4. Mempresentasikan/membacakan hasil kelompok.
5. Guru memberikan penguatan
6. Guru dan siswa bersama-sama membuat kesimpulan
7. Penutup.
Dari setiap fase tersebut di atas dapat kita perhatikan dengan jelas sebagai berikut:
a. Fase Pertama, Pengenalan konsep. Fase ini guru mulai mengenalkan tentang suatu konsep atau istilah baru yang mengacu pada hasil penemuan selama eksplorasi. Pengenalan bisa didapat dari keterangan guru, buku paket, atau media lainnya.
b. Fase Kedua, Eksplorasi dan aplikasi. Fase ini memberikan peluang pada siswa untuk mengungkap pengetahuan awalnya, mengembangkan pengetahuan baru, dan menjelaskan fenomena yang mereka alami dengan bimbingan guru minimal. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik kognitif pada diri mereka dan berusaha melakukan pengujian dan berdiskusi untuk menjelaskan hasil observasinya. Pada dasarnya, tujuan fase ini untuk membangkitkan minat, rasa ingin tahu serta menerapkan konsepsi awal siswa terhadap kegiatan pembelajaran dengan memulai dari hal yang kongkrit. Selama proses ini siswa belajar melalui tindakan-tindakan mereka sendiri dan reaksi-reaksi dalam situasi baru yang masih berhubungan, juga terbukti menjadi sangat efektif untuk menggiring siswa merancang eksperimen, demonstrasi untuk diujikannya.
c. Fase Ketiga, Publikasi. Pada fase ini Siswa mampu mengkomunikasikan hasil temuan-temuan, membuktikan, memperagakan tentang materi yang dibahas. Penemuan itu dapat bersifat sebagai sesuatu yang baru atau sekedar membuktikan hasil pengamatannya.. Siswa dapat memberikan pembuktian terkaan gagasan-gagasan barunya untuk diketahui oleh teman-teman sekelasnya. Siswa siap menerima kritikan, saran atau sebaliknya saling memperkuat argumen.
5. Pemahaman Konsep
Menurut Bloom (1979), pemahaman didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyerap arti dari materi atau bahan yang dipelajari. Pemahaman merupakan hasil proses belajar mengajar yang mempunyai indikator individu dapat menjelaskan atau mendefinisikan suatu unit informasi dengan kata-kata sendiri. Dari pernyataan ini, siswa dituntut tidak sebatas mengingat kembali pelajaran, namun lebih dari itu siswa mampu mendefinisikan. Hal ini menunjukkan siswa telah memahami materi pelajaran walau dalam bentuk susunan kalimat berbeda tetapi kandungan maknanya tidak berubah. Pemahaman meliputi tiga aspek yaitu translasi, interpretasi dan ekstrapolasi.
a. Translasi, meliputi dua kemampuan : (a) menterjemahkan sesuatu dari bentuk abstrak ke bentuk yang lebih kongkret, (b) menerjemahkan suatu simbol kedalam bentuk lain seperti : menerjemahkan tabel, grafik, simbol matematik dan sebagainya.
b. Interpretasi, meliputi tiga kemampuan : (1) membedakan antara kesimpulan yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan, (2) memahami kerangka suatu pekerjaan secara keseluruhan, (3) memahami dan menafsirkan isi berbagai macam bacaan.
c. Ekstrapolasi meliputi tiga kemampuan: (1) menyimpulkan dan menyatakannya lebih eksplisit, (2) memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari tindakan yang digambarkan dari sebuah komunikasi, (3) sensitif atau peka terhadap faktor yang mungkin membuat prediksi menjadi akurat.
Menurut Rosser (dalam Dahar, 1996) konsep adalah suatu yang abstrak mewakili satu kelas obyek-obyek kejadian, kegiatan-¬kegiatan atau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Oleh karena itu, orang mengalami stimulus yang berbeda-beda, orang membentuk konsep sesuai dengan pengelompokan stimulus dengan cara tertentu. Karena konsep itu adalah abstraksi berdasarkan pengalaman dan karena tidak ada dua orang yang memiliki pengalaman yang sama persis, maka konsep yang dibentuk orang berbeda juga. Walau berbeda tetapi cukup untuk berkomunikasi menggunakan nama-nama yang diberikan pada konsep itu yang telah diterima bersamanya. Menurut Dahar (1996), konsep merupakan kategori-kategori yang kita berikan pada stimulus yang ada di lingkungan kita. Konsep menyediakan skema terorganisasi untuk menentukan hubungan di dalam dan di antara kategori-kategori. Konsep merupakan dasar bagi proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip dan generalisasi.
Menurut Bloom (1979) pemahaman konsep adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang disajikan ke dalam bentuk yang lebih dipahami, mampu memberikan interpretasi dan mampu mengaplikasikannya. Pemahaman konsep adalah sebagai kemampuan siswa untuk memaknai ilmu pengetahuan secara ilmiah baik secara teori maupun penerapannya dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat dari jawaban siswa melalui pretes dan postes (Slameto dalam Kaswan, 2005).
Pemahaman konsep sangat penting dimiliki oleh siswa yang telah mengalami proses belajar. Pemahaman konsep yang dimiliki oleh siswa dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang ada kaitannya dengan konsep yang dimiliki. Dalam pemahaman konsep siswa tidak terbatas hanya mengenal tetapi siswa harus dapat menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya.
I. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan menerapkan Model Pemelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) Untuk Meningkatkan Penguasaan Kosep Siswa SMA Negeri 4 Kendari Pada Materi Listrik Dinamis.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada semester 2 (genap) tahun ajaran 2007/2008 yang berlangsung pada bulan Maret sampi April 2008, yang bertempat di SMA Negeri 4 Kendari.
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII semester 2 SMA Negeri 4 Kendari yang terdaftar tahun ajaran 2007/2008 yang berjumlah 40 orang.

4. Desain Penelitian
Penelitian tindakan kelas merupakan proses pengkajian melalui system berdaur atau siklus dari berbagai kegiatan pembelajaran. Menurut Rakajoni dalam Nur (2000) bahwa terdapat lima tahapan dalam PTK, yaitu: (a). pengembangan focus masalah penelitian, (b) perencanaan tindakan perbaikan, (c). pelaksanaan tindakan perbaikan, (d) analisis dan refleksi, dan (e). perencanaan tindak lanjut. Untuk melihat gambar dalam pelaksanaan proses pembelajaran di kelas, maka dapat di lihat pada gambar desain penelitian berikut:























Gambar 1. Rancangan dan Model Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Tim Proyek PGSM, 1999:27)

6. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian tindakan kelas ini direncanakan terdiri dari tiga siklus, tiap faktor yang diteliti disesuaikan dengan siklus perubahan yang ingin dicapai pada faktor-faktor yang diselidiki. Untuk memantau pelaksanaan tindakan pada proses pembelajaran di kelas, maka dilakukan observasi terhadap aktivitas guru mata pelajaran fisika pada setiap siklus dan yang mengobservasi aktivitas siswa adalah teman peneliti yang terdiri atas 3 orang. Setelah selesai, peneliti melakukan evaluasi terhadap siswa dengan memberikan tes hasil belajar dalam bentuk essay dalam setiap siklus. Dan hasil analisis tes hasil belajar ini, maka peneliti melakukan interpretasi terhadap hasil belajar yang diperoleh siswa baik secara individu maupun kelompok. Berdasarkan hasil analisis aktivitas dan hasil belajar siswa tersebut, maka peneliti melakukan refleksi terhadap proses pembelajaran yang dilanjutkan pada tindakan selanjutnya sampai standar ketuntasan tercapai. Adapun pelakdanaan tindakan tersebut mengikuti prosedur penelitian tindakan kelas yaitu : (1) perencanaan,(2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan evaluasi, (4) refleksi. (Tim Proyek PGSM, 1999:78).
Secara lebih rinci prosedur penelitian tindakan kelas ini sijabarkan sebagai berikut :
a. Perencanaan
Kegiatan yang dilakkan pada tahap ini meliputi :
(i) Mengembangkan rencana Pelaksanaan Pembelajaran(RPP) beserta skenario tindakan yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CIRC.
(ii) Mengembangkan lembar observasi pengelolahan model pembelajaran CIRC meliputi lembar observasi penerapan model pembelajaran CIRC untuk guru dan lembar observasi aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar.
(iii) Menyiapkan media pembelajaran di antaranya buku paket fisika dan LKS.
(iv) Menyiapkan fasilitas dan sarana pendukung yang diperukan di kelas.
(v) Menyiapkan instrument tes hasil belajar berupa tes essay yang digunakan pada akhir siklus
(vi) Mengembangkan alat evaluasi pada setiap siklus pembelajaran yang meliputi penilaian pada hasil belajar siswa.
b. Pelaksanaan Tindakan
Kegiatan pada tahap ini adalah melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran CIRC materi listrik dinamis. Sesuai dengan rencana pembelajaran yang dilaksanakan oleh peneliti pada tahap perencanaan pada siklus I sub materi Alat Ukur Listrik pada siklud II Hukum Ohm dan Hukum Kircchoff
c. Observasi
Pada tahap ini dilaksanakan observasi terhadap pelaksanaan tindakan dengan menggunakan lembar obsevasi yang telah dibuat. Proses observasi dilakukan sejak awal hingga akhir pelaksanaan tindakan. Kegiatan pada tahap ini terdiri dari :
(i) Pengamat mengamati pelaksanaan tindakan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan metode pemevahan masalah.
(ii) Pengamat mengamatai aktivitas dan perilaku siswa serta peruahan sikap yang terjadi selama pembelajaran berlangsung.
d. Evaluasi
Proses evaluasi dilaksanakan pada setiap menggu pada setiap akhir siklus tindakan. Evaluasi bertujuan untuk melihat apakah terjadi peningkatan hasil belajar siswa dan peningkatan aktivitas belajar siswa selama penerapan model pembelajaran CIRC. Alat evaluasi yang digunakan adalah tes hasil belajar dan lembar observasi aktivitas belajar siswa.
e. Refleksi
Kegiatan reflekasi bertjuan untuk menganalisis data pada setiap akhir siklus dengan prosedur analisis sebagai berikut : mereduksi data, menyajikan data dan menyimpulkan. Refleksi dilakukan terhadap seluruh hasil observasi untuk membuat/memperbaiki perencanaan sebelumnya dan menentukan tindakan pada tahap berikutnya. Kriteria keberhasilan tindakan ditetapkan sebagai berikut :
- Secara umum hasil belajar fisika siswa meningka dari pre-test ke post-test, dari siklus I ke siklus II, dan dari siklus II ke siklus III.
- Pada akhir siklus III telah memenuhi target yang telah ditetapkan pada indikator kinerja.

7. Indikator Kinerja
Indikator proses keberhasilan proses pelaksanaan tindakan kelas ini apabila rata-rata hasil belajar siswa secara individual telah mencapai ≥ 65 % dan secara klasikal ≥ 75 % (ketentuan dari sekolah)
8. Data dan Teknik Pengumpulan Data

a. Sumber Data : yaitu guru dan siswa
b. Jenis Data : Jenis data yang diperoleh adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data tersebut diperoleh dari tes hasil belajar dan lembar observasi.
c. Teknik pengambilan data :
(i) Data mengenai kondisi pelaksanaan model pembelajaran CIRC diambil dengan menggunakan lembar observasi.
(ii) Data mengenaihasil belajar sains fisika diambil dengan menggunakan tes hasil belajar.
(iii) Data mengenai aktivitas siswa diambil dengan menggunakan lembar observasi

7. Instrumen Penelitian
Untuk keperluan pengumpulan data dibutuhkan suatu tes yang baik. Tes yang baik biasanya memenuhi kriteria validitas tinggi, reliabitas tinggi, daya pembeda yang baik, dan tingkat kesukaran yang layak. Untuk mengetahui karakteristik kualitas tes yang digunakan tersebut, maka sebelum dipergunakan seyogyanya tes tersebut diuji coba untuk mendapatkan gambaran validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukarannya. Langkah-langkah pengujian instrumen adalah sebagai berikut:
a. Validitas
Validitas adalah suatu konsep yang berkaitan dengan sejauhmana tes telah mengukur apa yang seharusnya diukur. Sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Dalam bahasa Indonesia “valid” disebut dengan istilah “sahih”. Sebuah soal akan memiliki validitas yang tinggi jika skor soal tersebut memiliki dukungan yang besar terhadap seluruh soal yang ada. Untuk menguji validitas setiap butir soal, skor-skor yang ada pada butir soal yang dimaksud dikorelasikan dengan skor total.
Dukungan setiap butir soal dinyatakan dalam bentuk kesejajaran atau korelasi dengan tes secara keseluruhan, sehingga untuk mendapatkan validitas suatu butir soal dapat digunakan rumus korelasi. Salah satu persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung koefisien korelasi adalah rumus korelasi product moment Pearson seperti berikut:
(Arikunto, 2005)
keterangan:
: koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y, dua variabel yang dikorelasikan.
X : skor item
Y : skor total
N : jumlah siswa.
Interpretasi besarnya koefisien korelasi dapat dilihat pada tabel 3.1
Tabel 1. Kategori validitas butir soal
Batasan Kategori
0,80 < ≤ 1,00
sangat tinggi
0,60 < ≤ 0,80
tinggi
0,40 < ≤ 0,60
cukup
0,20 < ≤ 0,40
rendah
0,00 ≤ 0,20
sangat rendah

Kemudian untuk mengetahui signifikansi korelasi dilakukan uji-t dengan rumus berikut:
(Sudjana,1992)
Keterangan:
t : Daya pembeda dari uji t
N : Jumlah subjek
rxy : Koefisien korelasi
2. Reliabilitas
Reliabilitas adalah kestabilan skor yang diperoleh ketika diuji ulang dengan tes yang sama pada situasi yang berbeda atau dari satu pengukuran ke pengukuran lainnya. Suatu tes dapat dikatakan memiliki taraf reliabilitas yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap yang dihitung dengan koefisien reliabilitas. Menghitung reliabilitas soal dengan rumus (Arikunto, 2005)

dimana: : koefisien reliabilitas yang telah disesuaikan
: Koefisien antara skor-skor setiap belahan tes
Harga dari dapat ditentukan dengan menggunakan rumus korelasi product moment Pearson. Interpretasi derajat reliabilitas suatu tes menurut Arikunto (2005) adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Kategori reliabilitas butir soal
Batasan Kategori
0,80 < ≤ 1,00
sangat tinggi
0,60< ≤ 0,80
tinggi
0,40 < ≤ 0,60
cukup
0,20 < ≤ 0,40
rendah
≤ 0,20
sangat rendah
3. Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran adalah bilangan yang menunjukkan sukar atau mudahnya suatu soal. Besarnya indeks kesukaran berkisar antara 0,00 sampai 1,0. Soal dengan indeks kesukaran 0,0 menunjukkan bahwa soal itu terlalu sukar, sebaliknya indeks 1,0 menunjukkan bahwa soal tersebut terlalu mudah. Indeks kesukaran diberi simbol P (proporsi) yang dihitung dengan rumus:

Keterangan:
P : Indeks kesukaran
B : Banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan betul
JS : Jumlah seluruh siswa peserta tes
Klasifikasi untuk indeks kesukaran adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Kategori tingkat kesukaran butir soal
Batasan Kategori
0,00 ≤ P < 0,30 soal sukar
0,30 ≤ P < 0,70 soal sedang
0,70 ≤ P 1,00
soal mudah
4. Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut Indeks diskriminasi (D). Rumus untuk menentukan indeks diskriminasi adalah:
(Arikunto, 2005)
Keterangan :
J : jumlah peserta tes
JA : banyaknya peserta kelompok atas
JB : banyaknya peserta kelompok bawah
BA: banyaknya kelompok atas yang menjawab benar
BB: banyaknya kelompok bawah yang menjawab benar
PA: proporsi kelompok atas yang menjawab benar
PB : proporsi kelompok bawah yang menjawab benar
Kategori daya pembeda dapat dilihat pada tabel 3.4
Tabel 4. Kategori daya pembeda butir soal
Batasan Kategori
0,00 ≤ D ≤ 0,20 jelek
0,20 < D ≤ 0,40 cukup
0,40 < D ≤ 0,70 baik
0,70 < D ≤ 1,00 baik sekali

5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Sebelum dilakukan pengolahan data, terlebih dahulu dilakukan penskoran terhadap data hasil penelitian. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah :
1. Menghitung peningkatan pemahaman konsep (hasil belajar) siswa pada materi suhu dan kalor, dengan menggunakan rumus g factor (gain score normalized) dengan rumus :
(Meltzer, 2002)
Keterangan:
: Skor postes
: Skor pretes
: Skor maksimum ideal
Kriteria perolehan skor g dapat dilihat pada tabel 5
Tabel 5. Kategori perolehan skor g
Batasan Kategori
g > 0,7 tinggi
0,3 ≤ g ≥ 0,7 sedang
g < 0,3 rendah

2. Menghitung persentase kegagalan siswa dalam mengikuti tes dengan rumus :
(Usman, 1993)

3. Mengkategorikan nilai hasil belajar siswa dengan kriteria sebagai berikut :
Sangat tinggi : 85-100
Tinggi : 66-84,9
Sedang : 55-65,9
Rendah : 40-54,9
Sangat rendah : 0-39,9 (Safari, 2003)


2 comments:

  1. aslm..
    mas.. ada contoh pengolahan data untuk penelitian PTK tidak? kalau ada, saya perlu referensi
    terima kasih.

    ReplyDelete
  2. Makasih min ane suka postingannya

    datang juga di website kami http://mimbaruntan.com/

    ReplyDelete